KMAC#6. DARI KOPRAL JONO HINGGA MAYOR JONO
Ini adalah kisah perjalanan hidupku selama mendampingi suami yang seorang anggota TNI-AD. Disini aku ingin berbagi pengalaman hidup, atau mungkin aku ingin mengabadikan kisah perjuangan hidupku ini melalui goresan pena. Harapanku kelak anaku akan menemukan jejak perjalanan hidupku ini di sini.
Aku menikah tanggal 19 Juni 1993, kalau dihitung sekarang 19 Februari 2023. Berarti usia pernikahanku ini sudah 30 tahun 7 bulan. Bukan waktu yang singkat untuk hidup membina rumah tangga.
Aku menikah dengan seorang anggota TNI-AD, namanya Kopral Marjono, karena panggilannya Jono maka sering disebutnya sebagai Kopral Jono.
Awal pertemuan aku memang tidak begitu mengenalnya.Sementara aku kuliah di Perguruan Tinggi Negeri Yogyakarta. Pertemuanku dengannya tanpa sengaja, karena dalam perjalanan pulang ke rumah ibuku yang di Magelang dan dia akan kembali ke satuannya di Purworejo setelah pulang dari rumahnya di Yogyakarta. Dalam satu perjalanan itulah dia mengajaku berkenalan.
Sebelumnya aku tak menyadari kalau dia seorang anggota TNI, namun setelah menerima surat darinya yang alamatnya Timor-Timur baru aku tahu bahwa dia seoarang prajurit dan sedang bertugas di wilayah konflik waktu itu.
Akhirnya hubunganku dengannya semakin akrab walau sekedar lewat surat. Maklum waktu itu belum ada HP. Kami saling berkirim cerita atau sekedar bercanda meskipun suratnya datang sebulan sekali. Lambat laun kami saling bercerita tentang keluarga masing-masing. Boleh dikata kami melakukan pendekatan walau melalui surat.
Setelah pulang dari penugasan dia kemudian menemuiku walau sampai tiga kali ke kos-kosan tidak pernah bertemu. Bukan prajurit namanya kalau mudah menyerah. Dia terus mencariku sampai akhirnya bisa bertemu. Setelah itu tak butuh waktu lama untuk saling mengenal dia akhirnya melamarku. Dan tepat di tanggal 19 Juni 1993 itulah akhirnya aku resmi menjadi Ny.Marjono.
Aku wisuda setelah tiga bulan menikah. Dan karena seorang prajurit yang terikat dinas maka akupun wajib tinggal di asrama. Akupun tinggal di Asrama Purworejo . Hidup menjadi istri prajurit yang pangkatnya Kopral tentu tidak mudah. Dengan gaji suami yang masih dibilang kecil aku harus sangat berhemat.
Empat bulan menikah akhirnya aku hamil. Dalam kehamilanku aku tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi mencari kerja tentu sangat tidak mungkin, walau aku pernah memaksakan diri untuk mencari kerja.
Alkhamdulillah rezeki anak sholeh. Dikehamilanku yang ke-tiga bulan suamiku dinyatakan lolos seleksi Bintara. Aku sangat bersyukur. tapi aku juga bingung. Karena untuk berangkat pendidikan suamiku harus punya bekal uang. Sementara aku tidak punya tabungan. Akhirnya akupun beranikan diri meminjam ke ibuku. Dan oleh ibuku dijualkan cincin yang dipakainya. Sebenarnya aku tidak tega tapi bagaimana lagi aku tidak ada jalan lain. Aku adalah seorang anak yang dibesarkan dari keluarga TNI juga. Ayahku seorang TNI-AD, tentu kehidupan kamipun sangat sederhana. Apalagi aku lima bersaudara.
Selama ditinggal pendidikan aku hidup diasrama sendirian. Sebagai keluarga baru tentu aku belum berpengalaman. Apalagi dalam kondisi hamil. Karena aku mengalami masa ngidam yang membuatku selalu muntah tidak bisa makan apa-apa, akhirnya aku mengalami ngdrop dengan tensi yang rendah. Terpaksa aku harus diopnam di Rumah sakit tentara (DKT). Aku sangat sedih ingin berbagi dengan suami tapi aku dilarang. Kata temen yang menjagaku jangan menambah beban pikiran suami yang sedang pendidikan.
Setelah satu bulan di pendidikan suamiku dapat IB (Ijin Bermalam). Aku sangat bahagia bisa bertemu suamiku. Walau hanya satu malam, setidaknya dapat menguatkan hatiku. Suamiku harus menempuh pendidikan Bintaranya selama 3 bulan. Dan selama tiga bulan itu aku harus berbagi uang gaji dengan suami. Aku mengalah suami yang utama, maka suami aku kasih uang saku lebih banyak. Sementara aku harus lebih berhemat.
Setelah lulus pendidikan,suamiku dipindah tugaskan di Batalyon Salatiga. Waktu itu usia anakku baru 2 bulan. Sungguh perjalanan yang berat. Aku harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Tempat yang sangat dingin dan jauh dari orang tua. Otomatis aku harus merawat anakku seorang diri tanpa bimbingan orang tua.
Dalam kehidupan di Batalyon aku harus banyak mengikuti kegiatan. Menjadi istri prajurit berbeda dengan orang umum. Kami terikat dengan banyak aturan dan kegiatan. Lambat laun akupun banyak belajar dari para seniorku. Dalam kegiatan Persit (Persatuan Istri Prajurit) kami diajari banyak hal. Mulai dari etika sopan santun, ketrampilan, pengajian rutin, dan olah raga.
Tumbuhlah aku menjadi istri yang tangguh, mandiri dan tidak cengeng. Segala permasalahan harus bisa diatasi sendiri, kalau tidak bisa baru meminta bantuan atasan. Hari-hari aku jalani dengan bahagia. Walau aku hidup pas-pasan tapi bisa berkumpul dengan suami sudah cukup bagiku.
Setelah lima bulan di rumah, akhirnya datang juga perintah untuk berangkat tugas. Aku sedih ditinggal tugas. Anakku baru berusia 7 bulan. Bahkan dia belum bisa berjalan. Namun perintah harus dilaksanakan. Akhirnya suamiku berangkat tugas dalam Operasi Tatoli di Timor-timur.
Aku kesepian, kalau malam tidak bisa tidur. apalagi aku belum mampu untuk membeli sebuah televisi. Hanya suara radio yang menemaniku saat malam untuk mengusir rasa takut. Setiap bulan suamiku berkirim surat. Aku sangat bahagia setiap menerima suratnya. Apalagi jika tahu dia dalam kondisi baik-baik saja.
Tak pernah lupa selalu kupanjatkan doa. Memohon perlindungan dan pertolongan Alloh yang Maha Kuasa. Untuk suamiku yang sedang berjuang mengamankan negeri dari para teroris atau GPK ( Gerakan Pengacau Keamanan). Hanya itu yang dapat kulakukan sebagai seorang istri prajurit yang ditinggal tugas dimedan perang.
Sepuluh bulan terasa amat lama bagiku. Membesarkan anak sendiri di tengah kegiatan yang sangat padat membuat aku lama-lama terbiasa. Kunikmati masa membesarkan anakku yang masih balita. Kulupakan keinginan untuk bekerja. Walau dalam hati kecilku keinginan menjadi guru adalah cita-citaku yang selalu kuimpikan.
Kabar suamiku akan pulang tugas akhirnya datang juga. Kami para istri di asrama sangat heboh mempersiapkan ini itu menyambut kedatangan suami. Segala macam makanan kami siapkan terutama kesukaan suami. Kami diberi kesempatan oleh pimpinan untuk ikut menjemput di Pelabuhan Tanjung Emas. Sungguh kenangan yang sangat mengesankan bagiku menjemput prajurit yang baru pulang tugas. Dari jauh sayup-sayup kapal terlihat. Lambaian sleyer dari suami sudah dikabar-kibarkan. Kamipun ikut melambaikan tangan tanda rindu sangat menggebu.
Tak sabar ingin bertemu dua insan yang dilanda rindu. Setelah kapal bersandar para prajuritpun turun kapal. Mereka dibariskan menerima arahan dari Bapak Komandan Batalyon. Setelah selesai mereka menjalani tes kesehatan. Setelah itu baru para prajurit diijinkan menemui keluarganya.
Sungguh pertemuan yang sangat mengharukan. Suamiku lari menyongsong aku yang menggendong anak. Langsung diraihnya anak semata wayang kami. Kamipun berpelukan haru dan bahagia. Prajuritku pulang dengan selamat tak kurang suatu apa.
Kami kembali ke asrama dengan banyak cerita. Suamikupun banyak bercerita tentang keadaan di medan tugas. Berkali kali aku bersyukur suamiku selalu dalam lindungan Yang Maha Kuasa. Walau banyak bahaya dia lalui, banyak kesulitan dia alami, namun Alloh SWT selalu melindunginya hingga pulang dengan selamat.
Dirumah selama 7 bulan merawat dan mendidik anak yang mulai tumbuh memasuki Sekolah Dasar sangat membahagiakan. Walau kondisi selalu pas-pasan tetaplah kami syukuri. Dari sisa uang lauk pauk dimedan tugas suamiku membawa tabungan sebesar Rp.600.000. Dari uang itu kami dapat membeli Televisi 14 Inch. Saya sangat senang akhirnya bisa menonton acara televisi dirumah sendiri. Sebelumnya kalau pingin nonton acara kesukaan harus nebeng dirumah tetangga.
Karena suamiku bertugas di Kostrad, maka tidak lama dirumah Batalyon kamipun mendapat perintah daari atasan untuk melaksanakan Tugas Operasi di irian Jaya. Suamikupun mendapat perintah berangkat tuga ke Irian Jaya. Kami para ibu-ibu pun mulai sibuk menyiapkan segala keperluan bapak-bapaknya. Pasukan mulai dilaksanakan latihan demi latihan sebelum berangkat ke medan penugasan.